SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Senin, 26 Desember 2011

cerita romantis

** SEHARI [Dan jangan lagi ucapkan janji]


Hari Rabu ini tidak beda dengan hari yang lain di bulan ini. Hujan baru saja berhenti, walau mendung masih terlihat di langit tapi sepertinya hujan tidak akan turun lagi. Udara terasa lebih segar, debu yang biasanya berterbangan tersapu tetesan hujan . Langit biru dan angin yang bertiup pelan menambah segar siang ini. Siang yang indah. Aku berharap indahnya siang ini tidak hanya di mata tetapi juga dapat menambah indah hidupku. Aku baru saja masuk ke dalam mall, aku tidak perduli dengan orang-orang yang berjalan di depanku. Meski bukan musim liburan dan akhir pekan tetapi pengunjung siang ini lumayan banyak dengan tujuan yang berbeda mungkin belanja atau mungkin hanya sekedar membuang waktu dengan berkeliling mall. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu. Menepati janji. Aku sampai di lantai dua dan melirik ke salah satu café di sana dan tidak terlihat wajah yang aku kenal, aku mengarahkan mataku ke jam tangan, 13.16. Berarti masih ada setengah jam lebih untuk menunggu dia datang. Aku memutuskan untuk masuk ke satu café yang berhadapan dengan tempat kita janjian, jadi aku bisa melihat kalau nanti dia datang. Secangkir Cappucino baru saja disajikan di depanku, aku melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Aku melanjutkan membolak-balik majalah yang memang tersedia di café itu sambil sesekali melirik ke café di depan menunggu dia datang. Waktu berjalan perlahan Cappucino dalam cangkir masih tersisa setengah dan sama sekali tidak panas lagi. Perlahan aku mengangkat cangkir dengan niat untuk menghabiskan sisa kopi sebelum jadi benar-benar dingin. Tanganku tertahan ketika mataku secara sekilas melihat wajah yang begitu akrab di mataku. Walau telah bertahun tidak melihatnya tapi wajah itu tidak bakal bisa terlupakan. Wajah yang dulu begitu akrab denganku. Sama sekali tidak banyak yang berubah dari dia. Meski dia lebih kelihatan dewasa dan lebih… *tiba-tiba jantungku berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat. Sementara hatiku memiliki keinginan yang lain, menahan kakiku untuk melangkah dan membiarkan mataku untuk memandangnya lebih lama lagi dari sini. Memandang sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata melepas rindu yang selama ini terbenam dalam hati. Dia menoleh ke dalam café, mungkin sedang mencari-cari tanda kehadiranku. Tangannya mengeluarkan handphone dari dalam tas . Jari-jarinya menekan tuts dan kemudian mendekatkan handphonenya ke telinga. Kembali melirik ke dalam café,… Handphone di dalam saku celanaku bergetar. Di layar handphone tertulis namanya. Jawab tidak, jawab tidak, jawab… “Hallo…” “Hallo, aku udah di depan café, kamu di mana? “Ehh, masih di jalan, ntar lagi sampai.” entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja. “Kamu tunggu disitu aja dulu, pesan minum atau apalah.” “Ya udah, aku tunggu di dalam. Tapi jangan lama ya.” “Enggak, paling lima menitan lagi.” Dia masuk kedalam dan duduk di pojok café. Aku masih memperhatikan dia yang sekarang lagi berbicara dengan pelayan café. Mungkin lagi memesan minuman. Sekitar beberapa menit kemudian aku bergerak, membayar kopi yang baru saja aku minum dan melangkah pelan ke café di depan. Rasanya seperti mau kencan pertama. Di depan pintu aku berdiri sejenak menatap ke meja di pojok café, dia sedang sibuk membaca menu yang ada di depannya. “Hai, lama nunggunya. Sorry ya” Wajahnya terangkat mencari asal suara yang baru dia dengar. Matanya menatap ke wajahku. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata indah yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah aku lihat. “Enggak koq, aku juga barusan sampai.” Aku duduk didepannya, lama aku berharap bisa bertemu dia malah terkadang aku merasa kalau keinginan untuk bertemu lagi hanya menjadi keinginan yang tak akan terwujud. Tapi hari ini keinginan itu telah terpenuhi dia ada di depan mata, hanya berdua. Kita berdua membalik-balik daftar makanan, sepertinya kita sama-sama sedang mencari bahan untuk memulai pembicaraan. “Dari rumah tadi jam berapa?” aku memulai pembicaraan “Jam sepuluh” dia menjawab datar tanpa melepaskan pandangan dari menu. “Makasih ya kamu mau datang. Di rumah hujan juga?” “Iya dari pagi. Untung aja hujannya berhenti kalau enggak mungkin gak jadi.” “Hujan atau badai aku pasti tetap datang menepati janji.” Kali ini dia memandang dingin kearahku “Iya, aku tau kalau kamu selalu menepati janji kamu. Enggak kaya’ aku.” “Eh, kenapa jadi ngomong kaya gitu. Sorry, aku cuma mau bilang kalo aku benar-benar mau ketemu dengan kamu.” “ Iya, aku tau.” “Permisi, mau pesan sekarang?” pelayan café berdiri tepat disamping meja. “Eee..aku minta es green tea nya satu, kamu mau pesan makan?” Aku melirik ke arahnya. “Mmh, kayaknya ntar aja ya, aku masih kenyang. Aku pesen es teanya juga ” “Ya udah Mbak, minum aja dulu ya, makasih.” Si Mbak menggangguk dan pergi setelah mengulang pesananku tadi. Kembali tinggal kita berdua, masih saling diam. Aku memandang meja-meja di sekitar kita, mencari sesuatu yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, sayangnya tidak banyak tamu saat ini. Keinginanku untuk bertemu begitu besar begitu banyak cerita yang ingin kubagi dengannya begitu banyak cerita yang ingin kudengar darinya tapi saat ini aku tidak tahu harus memulai dari mana. Beberapa minggu sebelumnya, tepatnya tiga minggu yang lalu. Aku mendapat pesan singkat SMS, “Hai, kamu lagi sibuk,ya. Cuma mau tanya kabar kamu aja. R”. Saat itu aku sama sekali tidak tahu siapa pengirim pesan tersebut, sampai kemudian aku membalas pesan tersebut dan menanyakan namanya. Dan setelah mengetahui siapa pengirim SMS tersebut begitu banyak kata-kata yang tertulis melalui SMS dari kita berdua. Saling bertukar kabar, berbagi cerita yang kita alami selama ini, mengenang masa lalu dan kita berhenti berkomunikasi saat itu ketika hari hampir mendekati subuh. Hari-hari berikutnya kita masih saling berukar cerita melalui pesan singkat SMS, entah kenapa ketika kita berbicara langsung melalui telfon tidak ada kata atau cerita yang mengalir. Setelah seminggu berlalu, aku terpikir untuk bertemu dengannya. Jadi alasan utamaku untuk pulang ke kota kelahirannku kali ini karena ingin ketemu dengan dia. Melepas rindu dan berbagi cerita secara langsung. Berbagi cerita tentang kita yang sudah lebih dari 10 tahun tidak bertemu. “Yenn sama Epan, gimana kabarnya. baik?’ aku menayakan kedua putranya. “Baik.” “Koq, enggak diajak ikut?’ “Emang kamu mau ngejagainnya?’ ada senyuman di wajahnya “Yah kan bisa disuruh main sendiri.” “Repot kalau bawa mereka.” “Terus di rumah dengan siapa?” “Di titipin ke tetangga! Ya pasti sama neneknya, lah.” “Ibu gak nanya kamu mau kemana?” “Aku cuma bilang mau ngumpul sama temen-temen kuliah.” Dia melirik kearahku, “Benerkan, ketemu dengan teman kuliah.” Duh susah banget, mau ngomong apa lagi nih. Aku bener-bener gak tau mau ngobrolin apa. Belum lagi sikap dia masih dingin-dingin aja. “Enggak terasa ya, sepuluh tahun gak ketemu.” kali ini dia mulai bicara “Bukan cuma tidak bertemu, kita sama sekali putus hubungan.” “Sebenarnya dua atau tiga tahun yang lalu waktu aku lagi cuti, aku sempat tanya-tanya tentang kamu ke temen-temen kampus dulu, mereka yang kasih tahu kamu kerja dimana sekarang. Cuma waktu itu masih segan aja untuk nelfon.” “Sekarang udah enggak segan lagi?” “Awal-awalnya agak ragu juga tapi daripada terus kepikiran ya nekat aja nelfon.” “Kepikiran apaan?” “Yah, kepingin tahu aja kabar kamu. Kalau lagi liburan seperti ini aku pasti masih sempat-sempatin ketemu semua temen baik di kampus dulu tapi dengan kamu aku sama sekali belum pernah ketemu jadi penasaran aja.” “Sekarang udah ketemu, gimana ada yang berubah atau masih sama kaya dulu.” “Secara fisik gak banyak yang berubah, yah paling berubah dikit lah. Perubahan dari faktor usia yang semakin tua.” Gelas minuman kedua baru saja disajikan kali ini dengan sepiring sandwich. Tangannya meraih botol kecil yang berisi lada putih kemudian menaburkan diatas chilli sauce. Sepotong kentang goreng diambil untuk mengaduk-aduk chilli sauce supaya bersatu dengan lada putih. Kebiasaan lamanya yang tidak aku lupa. Kebiasaan yang juga menular ke aku. “Kebiasaan sambal dan merica belum hilang juga ya.” “Kamu aja yang gak seneng pedes.” “Enggak juga.” “Tidak suka pedas juga enggak apa-apa, enggak usah malu.” “Siapa yang bilang malu, aku sekali tidak menutupi kalau aku tidak suka pedas.” “Kok kamu jadi serius gitu, masa gara-gara cabe kamu jadi marah.” Marah. Saat ini aku tidak bisa marah, kalau dulu aku bakal diam seribu bahasa dan bermasam muka dan setelah itu dia bakal meminta maaf dan mulai mengeluarakan suara manja meluluhkan hati. Tapi sekarang rasanya jurus itu tidak mungkin lagi, aku harus tetap menjaga suasana tetap ceria. Tetap tersenyum. “Dulu kalau sudah kesel atau marah kamu pasti diem, gak mau ngomong lagi.” dia seperti bisa membaca pikiranku. “Itukan dulu kalau sekarang sudah beda.” “Apanya yang beda?” “Ya, beda aja.” “Iya, apanya yang beda?” “Dulu, kalo aku ngambek kamu masih mau mengeluarkan kata-kata manis supaya baikkan lagi, kalau sekarang, memang kamu masih mau?” “Merayu kamu dengan kata-kata manis, ke laut aja…” “Satu yang tidak berubah dari kamu, masih tetap keras kepala…” Tiba-tiba kalimatku terhenti, teringat ke masa lalu, kepala yang biasa bersandar di bahuku, rambut yang dibiarkan panjang hanya untuk memenuhi keinginanku. Kenangan dia dan aku terlintas memenuhi pikiranku untuk sesaat. “Hei, jangan bengong…” dia menghentikan hayalanku yang terbang ke masa lalu. “Mikirin apa, mikirin anak? Emang udah punya?” “Mikirin kamu, kenapa kamu makin cantik.” “Makasih ya, ntar minumnya aku yang bayar.” Suaranya datar dan sepertinya tidak suka dengan apa yang baru aku ucapkan “Kayaknya harga makanan lebih mahal dari harga minuman.” Aku mencoba mendinginkan suasana. “Ya udah, kalo gitu kita bayar masing-masing.” Nada bicaranya berubah. “Cuma bercanda aja, koq jadi sensitif gitu…” Dia diam tidak menjawab. Aku bisa merasa ada yang gak bener, pasti dia gak seneng dengan kata-kata yang baru aku ucapkan. Setelah itu tiba-tiba suasana menjadi beku. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang menggangu dalam pikirannya dan aku sama sekali tidak tahu. “Aku ke toilet dulu ya.” Dia cuma menggangguk wajahnya menatap kosong ke luar jendela. “Tolong jaga kursinya hanya untuk aku ya.” Dia hanya diam. Sebatang rokok menempel di bibirku. Aku menghirup dalam rokokku dan menghembuskan asapnya sekuat tenaga. Berusaha mengeluarkan beban, yang aku tidak tahu beban apa yang sedang aku pikul saat ini. Kebiasaan merokok yang sebenarnya sudah aku tinggalkan enam bulan yang lalu. Entah kenapa di jalan aku beli sebungkus rokok, tapi paling tidak saat ini ada manfaatnya. Aku kembali masuk ke dalam café, syukurlah dia masih duduk manis di pojok sana. Tidak semanis wajahnya saat ini. Aku melihat sebatang rokok bermain diantara jarinya, belum dinyalakan. Aku mengeluarakan korek gas, dan sebelum aku menyalakannya… “Disini gak boleh ngerokok.” nada suaranya masih datar dan wajahnya masih memandang keluar. “O ya.” “Mintain bill nya, kita cari tempat yang lain.” Oh Thanks God, dia mau melihat ke aku lagi dan terima kasih juga dia masih bilang nyari tempat yang lain bukan bilang mau langsung pulang. Dia langsung menyerahkan beberapa lembar lima puluhan ribu rupiah ke Mbak yang baru mau menyodorkan bill yang masih tertutup. Dia menyambar tas tangannya, memasukkan dompetnya, meneluarkan handphone sebentar melirik kalau-kalau ada SMS atau miss called. Memasukkannya kembali dan langsung berdiri dan berjalan keluar dari café. Aku berjalan tepat di belakangnya sebelum keluar kau melihat si Mbak tersenyum manis sambil mengucapkan terima kasih. Rasanya si Mbak baru saja mendapat tips yang lumayan. Dia masih belum bicara, berjalan santai sambil melihat tempat yang menurutnya ok. Langkahnya tiba-tiba berbelok ke salah satu café. Menanyakan sesuatu ke hostess yang berdiri di pintu masuk dan kemudian memberi tanda mengajak aku masuk. Berbeda dengan café sebelumnya yang terang benderang, yang satu ini suasananya lebih redup dengan alunan musik jazz. Suasana yang pas untuk berduaan. Tidak terlalu ramai hanya ada beberapa meja yang terisi, mungkin karena masih sore. Bagus untuk aku, jadi tidak terlalu berisik. Dia kembali memilih duduk dipojok, dan langsung menyalakan rokoknya. Aku tidak melihat ada asbak di atas meja. “Emang disini boleh ngerokok.” Dia menaikkan kedua alisnya. Aku berani taruhan dia pasti menanyakan hal itu dengan hostess di depan tadi. “Kamu kenapa jadi diem, aku tadi salah ngomong ya ?” aku membuka pembicaraan. “Aku gak apa-apa.”dia menjawab seadanya sambil terus menikmati pasta yang dia pesan. “Kamu ngomong dong, cerita apa gitu. Jangan diem terus.” “Kamu yang cerita, aku dengerin.” Posisi yang sama sekali tidak menguntungkan untukku. Aku rasa dia juga tau kalau aku bukan tipe orang yang bisa ngomong banyak. Tapi saat ini aku harus bisa kalau tidak percuma aja aku ketemu dia dan kemudian saling diam. “Kenapa kamu belum menikah, Ello!?” pertanyaan itu keluar bersamaan dengan pasta yang telah habis. “Aku sudah pernah jawab pertanyaan itu lewat SMS, hanya tinggal menunggu hari.” “Kenapa baru sekarang, kenapa enggak 2 atau 3 tahun yang lalu.” “Yah mungkin beberapa tahun yang lalu aku merasa belum siap aja. Belum siap secara mental dan keuangan dan selama itu juga aku enggak terlalu mikirin atau punya target menikah.” “Berarti sekarang kamu udah siap.” “Enggak juga. Tapi mau gimana lagi, aku juga sadar kalau sekarang umur aku udah masuk kepala tiga. Jadi mau gak mau ya harus siap.” “Terus sejak kita pisah, berapa lama kamu sendiri?” “Aku enggak ingat.” aku tidak begitu nyaman dengan pertanyaannya. “Dua tahun?.” “Mungkin.” “Kenapa sampai dua tahun, bukannya waktu itu kamu lagi di Malaysia. Kenapa gak cari pacar disana? Kamu kan senangnya sama gadis Melayu.” “Belum ketemu yang cocok aja, lagian aku kesana buat cari duit bukan cari jodoh” “Atau selama dua tahun itu kamu masih mikirin aku?” Aku tidak bisa langsung menjawab, aku memandang wajahnya beberapa saat. Aku sama sekali merasa tidak nyaman dengan suasana dan pertanyaanya. Aku sama sekali tidak tahu arah pembicaraannya. “Aku gak mau jawab” “Kenapa?” “Aku gak mau menginggat-ingat masa lalu kita dulu. Aku seneng banget hari ini kita ketemu dan aku mau hari ini kita gak usah ngomongin yang udah lewat. Takutnya nanti malah jadi salah pengertian terus marahan. ” “Dua tahun kamu masih menunggu aku walau aku udah mutusin kamu. Kamu pasti bener-bener kecewa waktu dengar aku sudah menikah.” Dia sepertinya tidak perduli dan masih tetap terus menggungkit-ungkit masa lalu. “Kita ngobrolin yang lain aja ya.” “Tadi kamu suruh aku ngomong sekarang kamu suruh aku diam.” “Aku bukan menyuruh kamu diam, kita ngomongin yang lain ya.” “Aku mau ketemu kamu hari ini, karena aku mau kamu terus terang sama aku. Aku gak mau terus-terusan merasa bersalah.” “Merasa bersalah? Kamu enggak buat salah apa-apa.” “Ello, aku mutusin kamu, aku buat kamu kecewa, aku enggak menepati janji aku. Kamu bilang itu gak salah.” Aku menarik nafas panjang, kenapa harus membicarakan yang sudah berlalu. Kenapa harus membuka sesuatu yang hanya mengingatkanku dengan kekecewaan yang sebenarnya sudah terobati. “Itu sudah lama banget, gak perlulah dibicarain lagi. Aku kecewa waktu kamu mutusin aku, tapi sebenarnya kamu sama sekali enggak pernah buat janji apa-apa. Aku yang maksa kamu untuk berjanji. “Maafin ya, aku udah bener-bener bikin kamu sakit hati aku bikin kamu kecewa.” Aku menghela napas, sebatang rokok kembali menempel di bibirku. Sepertinya aku memang harus kembali mengingat kenangan masa lalu. Kenangan yang selama ini telah aku tutup dan simpan dalam hati paling dalam dan tidak perlu diingat lagi meski tak ingin membuangnya. Disimpan tanpa harus membicarakannya apalagi harus membicarakannya dengan dia. “Waktu kamu mutusin aku, untuk beberapa bulan aku masih berharap kamu nelfon aku lagi. Aku sering ingat dengan kamu, mungkin karena waktu itu aku belum dapat kerja. Tapi begitu aku dapat panggilan dan mulai kerja. Aku sedikit bisa melupakan kamu…” “Tapi kamu masih menunggu selama dua tahun.” dia memotong kalimatku yang belum selesai. “Emang iya, kadang-kadang aku masih ingat kamu, tapi hanya sekedar pengen dengar kabar kamu. Itu aja gak mikirin yang lain.” “Sebelum kamu pergi aku menulis banyak puisi cinta untuk kamu memberi begitu banyak janji. Aku tulis karena aku sayang sama kamu dan aku mau kita masih bisa jalan bersama lagi waktu kamu pulang. Sebelum kamu pergi, di airport kamu menulis surat yang bilang kamu pasti kembali tapi kamu juga mengucapkan kata-kata klasik “kalau memang jodoh pasti ketemu lagi”, dan ternyata kita memang tidak jodoh. Mungkin jodoh kita hanya sebagai teman, dan aku bisa menerima itu jadi gak ada yang perlu disesali, gak ada yang perlu disalahkan.” Aku mengucapkan kata-kata itu tanpa sedikitpun melepas pandanganku dari dia. Aku bisa melihat mata indahnya sedikit berkaca menahan air mata. Aku ingin dia berhenti untuk menyalahkan diri sendiri dan mulai membicarakan hal lain. “Sekarang kamu udah ketemu aku, apa aku kelihatan seperti orang yang masih patah hati atau frustrasi. Aku rasa enggak. Aku bahagia dengan apa yang aku miliki saat ini, jadi kamu enggak usah terus merasa bersalah gitu.” “Tapi waktu aku mutusin kamu, kamu juga bilang kalau kamu akan selalu dan akan tetap menunggu aku pulang. Aku masih ingat.” “Oh, come on, waktu itu kita terpisah ratusan kilo dan kita hanya berbicara lewat telfon. Apalagi yang harus aku buat selain meyakinkan kamu dengan kata-kata. Aku sayang kamu tapi kalau bukan jodoh mau gimana lagi.” “Makasih ya, kamu selalu baik dengan aku.” “Makasih juga untuk kamu, udah bayarin minum aku tadi.” “Aku serius, kamu selalu baik sama aku. Sudah lama aku mau nelfon kamu, bicara dengan kamu. Tapi aku takut kalau kamu masih marah sama aku, enggak mau bicara sama aku.” “Ini cuma masalah pacaran, kamu memang menggores luka di hati aku meninggalkan bekas yang tak akan hilang tapi kamu bukan membunuh aku. Jadi berhenti menyalahkan diri karena luka ini tetap memberi arti tersendiri.” “Kamu sempat-sempatnya berpuisi.” Ada sedikit senyum diwajahnya. “Sekarang kamu sudah senyum, berarti kita bisa bicarain yang lain kan.” “Aku mau dengar tentang pacar kamu, ketemu dimana orangnya seperti apa.” “Gimana ya, orangnya baik…” “Cantik, sabar, perhatian dan pasti…setia.” “Kayaknya aku gak perlu jawab, kamu sudah kenal baik dengan dia.” “Aku serius nih.” “Siapa yang bercanda, aku belum selesai udah maen potong aja.” “Oke deh, aku dengerin.” “Sebelum kita pacaran kita berdua sudah jadi teman baik. Dia sudah tahu kebiasaan-kebiasaan aku, yang baik dan yang buruk. Dan yang terpenting dia selalu memotivasi aku dan selalu ada saat aku perlu. Dia juga bisa menutupi kelemahan aku, terutama kebiasaan aku yang susah bicara, kalau dia seneng banget ngobrol sama siapa aja. Kalau udah ngobrol susah menyuruh dia berhenti.” “Kamu sayang banget dengan dia ya.” “Lima tahun jalan dengan dia.” “Kamu masih kayak dulu ya, susah banget mengucapkan kata “sayang”, semua perempuan pasti seneng kalau sering mendengar kata sayang dari pacarnya. Kamu bisa menulis puisi cinta kamu juga setia, tapi kamu jarang atau bisa dibilang tidak pernah mengucapkan sayang dan cinta secara langsung. Kenapa ya, padahal kamu juga nggak rugi apa-apa kan.” “Kata-kata gak punya arti kalau enggak bisa dibuktiin.” “Seperti aku,ya.’” “Oh God, please don’t start again.” “Aku seneng bisa bikin kamu kesel.” “Satu yang sama dari kalian berdua, dia juga enggak pernah bosan bikin aku kesel.” “Kamu kangen dia ya, kamu sayang dia, kan.” senyuman usil terlihat di wajahnya. Tidak ada lagi wajah sedih dan bersalah yang beberapa menit yang lalu terlihat. Sekarang dia tertawa ceria. Senyum dan tawa membuat dia terlihat lebih cantik, aku bahkan baru sadar kalau dia terlihat lebih cantik dari yang aku ingat. Atau mungkin selama sepuluh tahun ini aku membayangkan dia seperti wanita penyihir yang telah melukai hatiku. “Anyway, terusin lagi cerita tentang pacar kamu.” “Mau cerita apa lagi?” “Ya, apa aja. Kalian jadiannya kapan. Dia kerja dimana, kamu liburan disini kenapa gak diajak ikut?” “Aku ketemu dia waktu di Malaysia, kita kerja di tempat yang sama. Sering ketemu, sering ngobrol, sering jalan terus… yah, enak aja kalau bareng dia.” “Katanya ke Malaysia bukan cari jodoh”. “Pertama dia bukan orang Melayu, yang kedua setelah dua tahun menunggu “seseorang” dan tidak kunjung tiba aku jadi mikir, yah hidup mesti diterusin.” “Koq, gak diajak kesini, ketemu calon mertua…” “Sekarang dia lagi di luar, dia dapat kesempatan untuk training dari tempat dia kerja.” “Training kemana?” “Training ke luar” “Ke luar negeri, koq bisa ya kamu selalu di tinggal pergi ke luar negeri terus sama pacar kamu. Kenapa gak dilarang.” “Kenapa harus dilarang, kalau seandainya aku dapet kesempatan yang sama aku juga mau.” “Kamu gak takut…” “Gak takut di putusin lagi.” Aku langsung memotong kata-katanya. “Kalau jodoh enggak bakal kemana, bener gak?” “Aku doain kalian baik-baik aja, pulang dari sana langsung nikah. Amin…amin…” Tidak terasa sudah lama kita duduk disini, meja-meja disebelah juga sudah mulai terisi. “Kita jalan keluar, yuk.” Dia menggangguk. Dia berhenti di depan toko baju,“Masuk yuk, temenin aku nyari baju buat Yenn.” “No problem, Mam.” Selagi dia sibuk memilih-milih baju yang tergantung, aku sama sekali gak tau mau ngapain. Aku hanya memperhatikannya. “Yang jaga toko pasti ngirain kita suami istri.” Dia gak jawab. “Aku tunggu di luar ya.” Makin lama aku jadi serba salah, ini pertama kali aku masuk ke toko pakaian untuk anak kecil. Sementara dia kelihatan masih serius memilih baju. Baru beberapa langkah aku membelakanginya… “Papa tunggu di kasir ya.” suaranya lumayan keras, atau memang disengaja, cukup untuk membuat beberapa pasang mata melirik ke arah kita berdua. Aku cuma bisa tersenyum meringis. “Udah selesai belanjanya, Ma.” dia keluar setelah beberapa menit di dalam toko. Aku mengulurkan tangan untuk membawa tas kertas berisi baju. “Sorry ya, ngerepotin kamu. Makanya buruan kawin, biar cepet punya anak.” “Kamu tau kalau aku punya anak, aku mau anak cewek. Biar kalau udah besar aku jodohin dengan anak kamu. Kita jadi besanan.” Kita berdua berjalan ke lantai dasar, air mancur yang ada di depan mall sudah terlihat. Rasanya aku belum mau keluar. Keluar berarti, mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa. Kata hatiku masih belum mau mengakhiri sore ini. “Kamu mau pulang jam berapa?” kata ‘pulang’ sebenaranya tidak ingin dan terasa berat aku ucapkan. Dia melirik ke jam di tangannya. Sepertinya dia juga masih mau menjalani sore ini lebih lama. “Kamu naik travel kan?” Gimana kalau kamu minta dijemput di rumah aku. Jadi kita masih bisa ngobrol lagi sambil menunggu.” Ide untuk menahan dia untuk tetap bersama dengan ku terlintas begitu saja dalam kepalaku. “Gak apa aku nunggu di rumah kamu?” “Kamu udah dianggap keluarga, ntar kan anak kamu nikah dengan anaknya aku.” “Aku telfon dulu ya.” Tidak menaggapi ucapanku. Aku kembali memandang dia, entah kenapa aku begitu menikmati setiap momen memandang dia. Tanpa harus mengucapkan satu kata, cukup hanya dengan memandang dia saja. “Hei, jangan melamun. Kita cari taksi yuk.” dia baru saja selesai memesan mobil jemputannya. “Jam berapa dijemput?” “Setengah lapan, kenapa?” “Gimana kalau kita jalan kaki. Cuacanya gak terlalu panas.” Aku sekali lagi memberi usul untuk bisa lebih lama berdua dengan dia. “Mmm, ya udah yuk jalan.” “Kamu ingat terakhir aku telfon ke rumah kamu. Waktu itu kamu ngelarang aku nelfon kamu, mulai sekarang bolehkan aku nelfon kamu kan?.” Kita udah keluar dari area mall, berjalan di trotoar yang masih lembab terkena hujan. Langkah kita pelan, seperti sedang menghitung jarak. “Aku gak janji, susah untuk dijelasin.” “Emang ada masalah, cuma ngobrol aja. Bukan mau ngajak kawin lari” “Masalahnya suamiku…” “Keren, gagah, penuh perhatian, taat beribadah.” Aku mencoba membalas joke nya dia. “Aku ngomong serius kamu malah bercanda.” “Ok…ok. Sorry, emang kenapa dengan suamimu?” “Dulu, sebelum kawin. Waktu masih pacaran dengan dia, aku cerita semua tentang aku. Aku cuma mau dia tahu semua masa lalu aku, termasuk semua bekas pacarku. Karena aku gak mau nantinya ada masalah setelah kami menikah.” Kita berhenti dibawah pohon besar. Beberapa pedagang parkir di sekitar situ. Kita memilih duduk di dekat penjual kelapa muda. Aku yakin dia membutuhkan beberapa teguk air untuk melanjutkan ceritanya. “Dia juga sempat baca beberapa puisi yang kamu kasih ke aku. Bukan aku yang nunjukin, tapi waktu dia lagi main ke kamar aku, dia yang liat di atas meja.” Beberapa teguk es kelapa muda kembali membasahi, sebelum dia melanjukan. “Jujur aku bilang ke kamu sekarang. Meski kita udah gak ada hubungan lagi, tapi aku juga masih sering ingat dengan kamu. Kadang aku sampai nangis. Aku kesel sama diri aku, karena udah nyakitin kamu.” Aku kembali bisa melihat ada air mata di wajahnya dan suaranya juga mulai bergetar. Dia berusaha untuk melanjutkan. “Aku masih ingat, waktu aku mutusin kamu. Kamu sama sekali enggak marah, kamu malah bilang kalau kamu bakal tetap menuggu aku. Aku masih ingat sampai sekarang, dan setiap kali aku ingat kamu, aku bener-bener merasa bersalah. Apalagi waktu aku tahu dari temen-temen kuliah, mereka bilang kalau sampai saat ini kamu belum marriage. Mereka enggak tahu banyak tentang kita, tapi waktu itu aku merasa kalau kamu beber-bener buktiin kata-kata kamu. Karena aku tau kamu selalu menuhi janji kamu.” “Aku memang selalu berusaha penuhi janji, tapi come on, aku juga masih sadar, gak sampai buta-buta banget.” “Makanya aku senang waktu pertama nelfon kamu, kamu mau menerima dan ngomong dengan aku. Apalagi waktu kamu bilang kalau kamu juga sudah punya pacar dan berniat untuk menikah.” “Aku masih normal koq. Masih butuh sentuhan wanita. Tapi kamu masih belum jawab kenapa kita gak bisa saling tukar kabar?” “Tadi aku udah bilang, kalau sejak aku mutusin kamu aku masih sering ingat kamu. Dan kalau aku ingat kamu, aku baca puisi yang kamu tulis. Biasanya semua puisi kamu aku simpan dan cuma aku yang tahu tempatnya. Mungkin hari itu lagi sial, puisi-puisi kamu masih ada di meja dan dia masuk ke kamar. Dia baca puisi kamu. Setelah itu dia bilang kalau kita masih saling berhubungan. Aku enggak perlu bilangin semuanya. Yang jelas, setelah itu sepertinya nama kamu seperti “penyakit” mematikan buat dia.” “Hanya karena beberapa lembar puisi..” “Dia melarang aku untuk menelfon atau berhubungan dengan kamu. Kadang aku juga sering marah dengan dia, gara-gara dia selalu curiga kalau aku lagi menelfon. Kalau selesai menelfon pasti nanyakin, tadi nelfon siapa, kenapa nelfonnya lama. Padahal waktu itu kita masih pacaran, belum nikah.” “Cemburu tanda sayang, dia pasti sayang banget dengan kamu,ya.” “Tapi yang aku enggak ngerti, dia cuma cemburu dengan kamu. Kalau aku bilang aku nelfon dengan cowok lain dia enggak marah. Meski aku bilang nelfon salah satu bekas pacar aku yang lain, dia gak marah. Dia hanya tidak mau aku berhubungan dengan kamu.” “Aneh. Aku malah sama sekali sudah lupa apa yang aku tulis di puisi itu. Kamu masih simpan gak?” “Puisinya diambil sama dia, gak tau diapai.” “Bener-bener aneh, cemburu dan benci dengan aku hanya karena puisi.” Aku bangkit dari tempat duduk, membayar kelapa muda dan beberapa potong gorengan. “Terus kalau dia tau sekarang kamu lagi jalan dengan aku, gimana?” “Kalau kamu enggak ngomong, dia enggak bakal tau. Aku juga enggak cerita dengan temen yang lain kalau hari ini aku ketemu dengan kamu.” “Gimana dengan bapak kelapa muda tadi atau si Mbak penjaga toko? Gimana kalau ternyata mereka agen mata-mata yang dikirim untuk mengawasi kamu.” “Kamu dari tadi bercanda terus gak pernah serius.” “Sekarang aku lagi cuti, lagi liburan. Aku gak mau pusing. Masalah suamimu yang benci dengan aku. Aku gak mau terlalu mikirin, aku belum pernah ketemu dia, aku gak kenal dia. Yang penting hari ini aku jalan dengan istrinya tersayang.” Marah, cemburu dan benci dengan aku hanya karena membaca puisi yang aku tulis, aneh …. Kita sudah berjalan lebih setengah jalan menuju rumahku. Sekarang kita berdua berdiri di perempatan jalan, bukan jalan besar tidak ada lampu merah, hanya beberapa sepeda motor dan beberapa mobil hilir mudik. Aku secara refleks memegang tangannya untuk menyebrang, tidak ada penolakan darinya. “Kalau dia tahu, tangan itu bakal direndam kembang tujuh taman selama enam malam.” “Udah, enggak usah ngomongin dia lagi.” Aku tidak tahu seperti apa akhir dari hari ini, meski sempat ada suasana yang membuat kita tidak nyaman tapi sampai saat ini semua begitu indah. Kita berdua bisa bertukar cerita, air mata dan ada tawa. Alam yang bersahabat, hujan yang berhenti tepat pada waktunya dan membiarkan angin yang setia mendinginkan sore ini. Thanks God,…. “Kamu sering jalan kayak gini?” “Sering sih enggak, tapi pernah lah beberapa kali.” “Dengan pacar kamu?” “Enggak, sendiri aja.” “Sendirian? Bukannya malah kayak orang lagi frustrasi.” “Enggak juga, kalau dipikir-pikir jadi seperti meditasi. Beberapa orang percaya pergi ke tepi pantai ke tengah laut atau ke puncak gunung untuk bermeditasi. Aku melakukan meditasi di tengah kota. Ini namanya meditasi terbaru, merenung dalam keramaian. “Aneh…” “Susah untuk aku jelasin, tapi kamu boleh coba kapan-kapan. Jalan sendirian ditengah kota, merhatiin orang-orang yang jalan. Masuk ke pasar, atau bicara dengan pedagang, supir angkot, tukang sapu jalan dengan siapa aja yang tidak kamu kenal terus jalan lagi. Kamu harus coba sendiri baru bisa ngerasainnya.” Dia sepertinya masih belum mengerti. “Kamu pernah nonton film Before Sunrise ?” “Mmm, kayaknya enggak, kenapa?” “Cerita filmnya kurang lebih sama seperti kita sekarang. Enggak sepenuhnya sama. Ceritanya tentang dua orang yang lagi liburan, cowok sama cewek sama sekali belum pernah ketemu sebelumnya terus kenalan di kereta api terus mereka sama-sama turun di satu kota tapi sama sekali bukan kota tujuan mereka berdua. Abis itu mereka jalan keliling kota sambil ngobrol tentang apa aja. Sampai pagi.” “Kayaknya aku gak mau keliling sampai pagi, makasih ya.” “Kalau seandainya kamu sanggup jalan sampai besok pagi, aku juga gak mau jalan keliling kota. Mendingan aku ngajakin kamu check-in. Biar suami kamu kena stroke! hahahaa…” Satu pukulan mendarat di bahuku. Dan sepertinya dia sudah siap dengan satu pukulan lagi tapi aku menghindar lebih dahulu. Berlari ke depan meniggalkan dia beberapa langkah di belakang. Aku berdiri menunggu dia menghampiri, dia berjalan pelan sambil tersenyum. Sore ini begitu sempurna. Cuaca yang indah dan dia… memang lebih cantik… Satu pukulan lagi di bahuku, kali ini lebih keras dari yang pertama. Menghentikan pikiranku yang sedang menikmati dia yang terlihat lebih… Ok cukup! Kembali ke dunia nyata. “Masih mau jalan? Kalau enggak kita bisa naik angkot dari sini.” Aku menawarkan alternatif, walau aku berharap dia masih mau melanjutkan dengan berjalan kaki. “Jalan aja, gak apa. Tapi kalau ada warung duduk bentar ya.” “Di depan ada mesjid, sekalian mau wajib “lapor.” Aku baru keluar dari mesjid, dia sudah menunggu di luar. Beberapa pedagang makanan di halaman mesjid. Tiba-tiba aku jadi lapar. “Aku lapar, makan bakso yuk.” “Kamu aja yang makan, aku masih kenyang.” “Enggak jadi ah…” “Bener gak apa, kamu makan aja. Aku pesan minum aja.” “Kamu masih sering makan kayak gini?” dia memulai pembicaraan sambil menunggu pesanan bakso. “Enggak salah nih. Bukannya situ yang lama tinggal di luar negeri..” “Jangan salah, disana juga ada bakso tau.” “Dimana-mana bakso itu ada, namanya aja yang beda.” “Koq jadi bakso ya, tadi itu maksud aku kamu masih sering makan di warung pinggir jalan gini. Kamu kan kerjanya di hotel yang serba bersih, rapi, serba teratur gitu.” “Sama sekali gak ada hubungannya. Sampai sekarang aku masih merasa makanan tradisional yang dijual di pinggir jalan jauh lebih enak daripada yang ada di restoran atau hotel. Serius.” “Makan bareng pacar kamu ya?” Aku diam saja tidak menjawab. “Kamu jadi ingat dia ya?” dia masih berusaha menggoda “Tapi kalau dipikir-pikir, masak masakan Eropa lebih gampang dari masakan kita. Bumbunya gak ribet.” Aku mengalihkan pembicaraan. “Emang kamu disana sering masak?” “Masak sih enggak, cuma bantu motong dan cuci piring.” “Berarti yang masak pacar kamu ya. Kesampaian juga keinginan kamu dapet cewek yang pinter masak.” Aku cuma senyum. “Sebelumnya aku ngirain hari ini, kalau kamu pasti marah-marah dan melampiaskan kekesalan kamu selama ini. Mengungkit-ungkit masa lalu, nanyakin macam-macem. Eh, gak taunya malah aku yang mulai mengungkit masa lalu. Kamu malah santai aja, kayak gak pernah sakit hati” “Kejadiannya sudah lama banget, lagian kalau hari ini aku marah-marah sambil teriak juga gak ada untungnya sama sekali. Mungkin kamu juga langsung pergi. Gak mau nelfon aku atau ketemu aku lagi.” “Yah, seandainya aku bisa.” “Bisa apaan? Telfon-telfonan dengan aku? Takut ketahuan sama suami kamu? Gak usah dipikirin, santai aja. Cukup kita jalanin hari ini, besok…, yah liat besok aja.” “Bener apa kata orang-orang ya. Kita jadi lebih sayang dengan sesuatu waktu kita udah gak memilikinya lagi.” suaranya pelan nyaris tak terdengar. Rasanya aku ingin memegang tanganya, mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Memeluknya dan bilang kalau aku masih dan tetap sayang dengannya. “Orang-orang juga percaya, selalu ada kesempatan kedua untuk nunjukin perasaan kita yang sebenarnya. Aku juga merasa kalau aku tidak bener-bener buktiin kalau aku sayang dengan kamu. Tapi aku udah gak bisa buat apa-apa lagi.” Dia tidak berkata apapun. Aku berhenti sejenak, menarik nafas. Kenangan masa lalu kembali melintas dalam pikiranku. “Butuh waktu 3 tahun sampai aku akhirnya nelfon ke rumah kamu. Keinginan untuk tahu kabar kamu ngomong dengan kamu begitu kuat. Aku sempat bicara dengan adik kamu, dia yang bilang September kamu pulang, sekitar tiga bulan lagi. Dia bilang September kamu pulang dan menikah. Keinginanku untuk tahu kabar tentang kamu kesampaian, walau sebenarnaya bukan kabar yang aku harapkan. September, dua hari sebelum kamu nikah. Aku masih ingat, aku nelfon ke rumah kamu lagi. Aku hanya mau ngucapin selamat dan berharap kita bisa berhubungan lagi, sebagai teman…” “Udah gak usah di omongin lagi.” Dia menghentikan omonganku. “Aku mau bilang, kalau aku sudah melepas kesempatan pertama dan aku sama sekali tidak mau kehilangan kamu untuk ke dua kali. Waktu aku tahu kamu mau menikah aku tidak kecewa, sama sekali tidak. Aku cuma mau kita masih bisa ketemu atau ngobrol jadi teman baik, itu aja ” “Aku tau, tapi kamu tahu kan. Aku tidak bisa berjanji, aku sekarang enggak sendiri…” “Iya, suami kamu. Aku ngerti. Aku juga gak mau kamu jadi ribut dengan dia karena aku. Aku jadi penasaran dan sama sekali enggak ingat apa yang dulu aku tulis sampai dia jadi begitu cemburu dan kesal dengan aku hanya karena puisi itu.” Aku menekan kepalaku berusaha menggingat puisi yang pernah aku tulis. “Ngomong-ngomong, kamu masih sering nulis puisi?” “Iya, kadang-kadang, kalau ada ide aku tulis.” “Puisi untuk pacar kamu?” “Mostly about love, tentang perasaan kalau lagi jatuh cinta, tentang kecewa karena putus cinta. Pokoknya masih seputar cinta-cintaan.” Kita sudah sampai di depan rumah. Dia masuk berjalan di halaman sambil mencari perubahan yang ada selama beberapa tahun. Tidak ada banyak perubahan. Hanya beberapa bunga dan pohon yang berganti. Aku melangkah ke teras rumah. “Mau cuci muka, benerin make up kamu atau sekalian masak buat makan malam, nyapu atau nyetrika?” “Emang aku pembantu.” Dia langsung menjatuhkan badanya di kursi rotan sambil menghela nafas. “Capek ya. Aku masuk dulu ya, sekalian ngambil minum.” Aku melangkah masuk ke dalam sambil meliriknya yang duduk dengan pasrah. “Hei…” aku menyadarkan dia yang sedang menutup mata sambil menyodorkan handuk basah. “Waw, cool towel. Baik banget.” “Delapan tahun aku di gaji untuk melayani orang yang tidak aku kenal. Bolehkan sekali-kali aku melayani teman sendiri. Lagian, cukup suamimu kesal dengan puisiku. Jangan sampai dia tahu kalau kamu bermandikan debu karena aku. Bisa bunuh-bunuhan.” “Ini air putih atau vodka, ntar aku mabuk kamu macem-macem lagi.” Dia melirik ke gelas yang berisi air putih di meja. “Kalau mau, dulu juga bisa koq. Enggak usah pake alkohol juga gak apa.” “Shut up.” Sepertinya kita berdua sama-sama sedang menikmati kesunyian. Setelah berjalan di tengah kota dan sekarang hanya duduk di teras, suasana terasa sunyi. “Kalau seandainya, kamu bisa kembali ke masa lalu. Apa yang mau kamu perbaiki?” “Aku sama sekali tidak mau kembali ke masa lalu.” “Cuma seandainya…” “Aku tetap gak mau.” “Kalau aku, aku mau kalau waktu itu aku gak usah ceritain tentang kamu ke suami aku. Dan aku gak lupa nyimpan puisi-puisi kamu. Jadi dia gak baca dan gak cemburuan dengan kamu.” “Kirain kamu mau bilang, kalau kamu gak pergi ke luar negeri dan nyari kerja bareng dengan aku.” “Katanya gak mau berandai-andai.” “Yah sekedar menyenangkan hati kan gak apa.” Aku kembali memandang dia kali ini dia berbalas memandang aku. Sunyi. Untuk beberapa saat kita hanya saling memandang. Pikiranku kosong. Aku hanya ingin diam. “Aku mau tanya sesuatu tapi kamu jawab jujur ya. Kamu mau ketemu dengan aku hari ini maunya apa? Kamu jawab jujur.” Dia memecah kesunyian. “Yang pasti ketemu kamu, ngobrol dengan kamu terus apa lagi ya. Ya itu aja. Kenapa sih?” “Maaf kalau aku ngomong gini. Apa kamu masih sayang sama aku? Apa kamu masih mengharapkan aku balik ke kamu?” “Sayang sama kamu, iya dan tidak akan pernah berubah. Aku sayang sama kamu selamanya cuma kali ini sayang as a friend, very close friend, untuk mengharapkan kamu balik? Enggak, kamu istri orang, ok. Ngapain juga kamu tanya kaya gitu?” Aku tidak suka dengan nada suaranya. “Kamu sadar gak kalau hari ini, dari cara ngomong dan dari cara kamu ngeliat aku. Sepertinya kamu enggak hanya sekedar mengharapkan aku as a friend. Walau kamu ngomongnya sambil bercanda tapi dari mata kamu, aku merasa kalau hati kamu bicara lain.” “Kamu masih punya suami dan aku juga punya pacar yang…” “Yang apa? Yang kamu sayang? Kamu juga gak bisa bilang kata sayang dia di depan aku.” “Kamu koq jadi ngomong ngelantur gini?” “Kamu bilang karena aku masih punya suami, kalau aku cerai kamu masih mau terima aku lagi?” “Hei, kamu makin gak bener…” “Aku ngomong bener, aku sadar yang aku omongin. Kalau aku cerai kamu mau nikah dengan aku? Kamu jawab jujur. Kamu bilang kamu bakal tunggu aku kembali, sekarang kamu mau terima aku? Kamu bisa penuhi janji kamu? Kamu sayang aku…” kata-katanya terhenti berganti dengan tangis. Oh My God, kenapa tiba-tiba jadi seperti gini. Kenapa jadi ada kata-kata cerai dan menikah. Skenario seperti ini seharusnya tidak ada dalam cerita indah sore ini. Memeluknya untuk mendinginkan hatinya rasanya bukan tindakan yang tepat. Menemukan kata-kata yang menghibur juga bukan mudah. Aku hanya diam. Aku yang masih sayang dia. Aku yang harus penuhi janji. Aku yang tidak mengucapkan sayang dengan kekasihku. Suaminya yang benci dengan puisiku. Dia yang mau cerai. Dia yang mau dinikahi. Kenapa tiba-tiba dia membicarakan semua ini. “Rose, kamu baik-baik aja?” Aku menyentuh tangannya pelan, tangisnya mulai reda meski isakan dan airmata masih tersisa. Aku tidak tau harus melanjutkan kata-kata apa lagi. Aku takut salah bicara. Untuk beberapa saat aku masih memegang tangannya berpindah duduk tepat disampingnya. Sentuhan ditangannya kini berganti usapan halus, masih tidak ada kata yang terucap. Aku saat ini benar-benar butuh nikotin, kafein atau mungkin alkohol untuk menenangkan perasaan aku. “Kalau kamu udah baikan, kamu ngomong ke aku masalah kamu, apa aja. Kalau aku bisa bantu aku bantu.” cuma itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Dia menarik nafas panjang matanya memandang kosong ke depan. Perlahan tangan kanannya menghapus bekas air mata yang masih tersisa, tangan kirinya masih belum terlepas dari genggamanku. Perlahan pandangannya beralih menatap wajahku, hanya beberapa detik tapi terasa lama. Memandangiku seperti sedang mencari sesuatu, sesuatu yang tidak aku mengerti dan hanya ada dalam pikirannya. Kita masih berpegangan dan ada senyum kecil di wajahnya. Ketika aku masih dipenuhi ketidaktahuan dia memberi satu kecupan di pipiku. “Aku boleh pakai toilet di dalam.” Dia berdiri dengan masih memegang tanganku. Aku hanya menggangguk pelan, pikiranku masih kacau dengan semua pembicaraan dan kejadian selama 5 menit sebelumnya. Aku berdiri dan berjalan didepannya. Aku baru saja melangkahkan kakiku ketika dia menyentuh bahuku dan aku menoleh kearah dia. “I love you…” Wajahnya tepat berada di depanku. Kata-kata itu terucap pelan tapi kembali membuat aku terpaku beberapa saat sebelum kembali membalikkan badan masuk ke dalam. “Ibu permisi ke kamar kecil ya.” Dia menyapa ibuku yang duduk di ruang keluarga. “O iya, silahkan di belakang.” Ibukku sepertinya sedang mengamati dan menggingat-ingat dia. Aku mendekati lemari es, segelas air dingin mungkin bias menenangkan hatiku. Aku melirik ke arah ibuku yang sepertinya masih berusah mengingat dia. “Ello…!? Dia itukan…!??” kata-kata ibuku terhenti ketika suara pintu terbuka. “ Ma kasih ya Bu. Saya duduk di luar.” Dia melangkah di depanku, aku sempat melirik ke ibuku dan sepertinya dia sudah ingat perempuan yang baru saja berlalu didepannya. Dan akhirnya tahu tujuan utama aku cuti satu minggu saat ini. Sebenarnya aku tidak mau menanyakan atau mengungkit kembali semua yang baru saja dia ucapkan. Tapi rasa keinginan tahu juga begitu besar dalam kepalaku. Beberapa jam lagi mobil jemputannya datang dan membawa dia pergi. Seandainya aku tidak menanyakannya dan mendapat jawaban yang pasti, aku berani jamin aku tidak akan bias tidur malam ini dan cerita sore yang indah ini akan berantakan. “Kamu mau jelasin ke aku, yang tadi kamu omongin?” Dia tidak menjawab, dia masih sibuk dengan peralatan make up nya. Membetulkan wajahnya yang ternoda oleh debu dan air mata. Pandanganku tertuju ke halaman kali ini aku tidak mau memandangnya. Aku tidak mau lagi pandangan ini disalahartikan. “Aku memang lagi ada masalah dengan suami aku.” Dia telah selesai dengan make up nya. “Tapi gak ada hubungan dengan kamu koq.” “Kamu mau cerita?” “Sebenarnya sama seperti masalah suami istri yang lain. Beda pendapat terus marahan besoknya baikan lagi. Terus berantem lagi. Tapi lama-lama jenuh juga.” “Kalau cuma masalah rumah tangga biasa, kenapa pake bawa-bawa kata cerai?” “Tadi aku barusan bilang, jenuh. Capek terus-terusan seperti ini.” “Cerai bukan jawabannya” “Kayak kamu sudah nikah aja.” “Aku kenal kamu bukan sekedar teman. Aku tahu kebiasaan kamu. Aku juga bisa merasa kalau masalah kamu bukan cuma jenuh, tapi lebih dari itu. Aku gak bisa maksa kamu cerita, tapi kalau kamu mau aku selalu ada.” Dia hanya diam, mungkin dia masih ragu antara menceritakan semuanya dengan aku atau tetap diam. “Dia mukul kamu atau dia suka mabuk?” aku menyebut dua hal yang dia tidak suka dari laki-laki. “Maksud kamu?” “Hanya dua hal itu yang bisa bikin kamu mengucapkan kata cerai. Jenuh atau bosan mungkin bisa jadi alasan buat putus dengan pacar tapi enggak untuk suami istri. Kalau selingkuh, aku rasa suami kamu gak terlalu bodoh untuk selingkuh kalau punya istri kayak kamu.” “Kenapa kamu selalu baik dengan aku. Kenapa kamu tidak pernah ngomong kasar atau memaki aku.” “Kamu gak buat salah apa-apa, so kenapa aku harus…” “Enggak cuma sekarang, gak cuma setelah aku mutusin kamu. Waktu kita masih pacaran, kamu juga selalu memaafkan aku gak pernah kasar…” “Aku baik koq malah jadi salah.” “Kamu selalu baik dan terlalu baik, dan tidak berubah.” “Tidak cukup baik. Kalau aku sebaik yang kamu rasa, kamu gak akan mutusin aku waktu itu.” “Aku sama sekali tidak pernah menjalin hubungan jarak jauh dan aku juga enggak yakin kalau aku bisa. Makanya aku enggak mau kasih janji untuk kamu.” “Ok aku tau itu. Sekarang kamu mau cerita masalah kamu dengan suami kamu?” Dia menghela nafas. “Dia sama seperti kamu. Sabar dan perhatian dengan aku, enggak cuma waktu pacaran sampai dua tahun setelah nikah dia masih sama.” “Waktu Yenn lahir, dia lahir disini. Aku tinggal satu tahun disini dia masih tetap disana. Kita ketemu dua kali selama setahun itu, gak ada yang berubah masih sama. Tapi setelah satu tahun dan aku mulai kerja aku merasa ada yang berubah. Hal-hal kecil bisa jadi masalah gak cuma marah tapi pakai lempar-lempar barang. Sampai saat itu aku masih sabar. Sampai tahun lalu, aku enggak bisa terima lagi karena dia sudah melewati batas, dia…” “Dia mukul kamu?”ada emosi di hati aku “Kamu juga tahu, aku enggak bisa terima kalau aku sampai dipukul.” “Kejadiannya, dia mukul kamu setahun yang lalu.” “Kata-kata cerai sudah aku sebut waktu itu. Tapi kamu tau sendiri, cerai tidak semudah mutusin pacar. Aku juga harus mikirin anak, terus ada keluarga yang juga ikut campur. Ibu dia yang ikut minta maaf. Banyak yang harus dipertimbangkan, terutama anakku.” “Berarti sudah gak ada masalah lagi kan?” “Dia memang tidak pernah main fisik lagi. Tapi marah karena hal-hal sepele dan banting-banting barang, mukul tembok atau pintu masih sering. Aku cuma merasa hanya menuggu waktu dia mukul aku lagi.” “Aku sama sekali tidak mengerti kenapa harus memukul orang yang jelas-jelas lebih lemah. Bukan merendahkan kamu tapi seandainya kamu punya kemampuan bela diri aku rasa dia bakal mikir dua kali untuk mukul kamu. Aku enggak pernah mengerti, memamerkan kekuatan fisik untuk menunjukkan kekuasaan atau malah sebaliknya hanya membuka kelemahan jiwa.” “Aku cuti sekarang ini juga tanpa seizin dia, tapi aku enggak perduli. Aku hanya mau jauh dan enggak mikirin dia.” Aku seperti melihat ada beban yang terangkat dari pundaknya. Berbicara dan berbagi cerita memang tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Tapi cukup untuk meringankan pikiran dan menyenagkan hati mengetahui ada teman yang mau ikut berbagi. “Aku belum pernah cerita masalah ini sama orang lain. Mereka cuma tahu aku ada masalah dengan suami aku, cuma itu saja. Aku enggak tahu kenapa aku cerita semuanya sama kamu.” “Aku tahu kenapa. Karena kamu maksa aku untuk kawin dengan kamu.” aku tersenyum sambil melihat dia. Semoga dia tidak salah mengerti. “Lupain saja yang tadi aku ucapin. Aku enggak sungguh-sungguh. Aku juga enggak mau merusak hubungan kamu sama dia. Kamu gak pantes dapat janda.” “Gak ada yang tahu apa yang ada di depan sana. Siapa yang tahu kalau setelah 10 tahun kita bisa ketemu seperti ini. Dan hanya dalam beberapa jam kita sudah bicara banyak.” “Aku senang bisa ketemu dan bicara sama kamu lagi. Termasuk ngomongin masalah pribadi aku.” “Kamu bisa cerita kapan saja sama aku. Masalah kamu sama suami, mungkin enggak pantas kalau aku ikut campur terlalu jauh. Masih ada keluarga kamu yang lebih pantas kamu dengar nasihatnya. Tapi apapun nanti jalan yang kamu ambil aku mendukung kamu.” “Kalau seandainya aku milih cerai?” “Kalau kamu siap jadi istri kedua, aku siap. Gak cuma bercanda. Aku rasa masih banyak pengusaha tua yang siap menerima…” “Shut up…!” “Sorry, sekarang serius nih. Seperti aku bilang, apapun keputusan kamu aku selalu mendukung. Kamu lebih dari sekedar teman buat aku.” Sore sudah berlalu dan langit juga tak lagi biru di depan pagar mobil jemputan sudah menuggu. Kita berdua tahu saat ini pasti tiba dan ketika dia datang kita tak rela, kita merasa masih banyak cerita yang belum dibagi. “Ya udah, gak enak sama mereka menuggu terlalu lama.” Aku mencoba menutup cerita sore ini meski tidak sepenuh hati. “Kamu kapan balik?” “Jumat pagi.” “Aku masih mau ketemu kamu, jalan sama kamu lagi, tapi..” “Kamu gak usah bilangin, aku juga udah tau.” “Ma kasih ya. Aku…” “Gak usah sebutin gak usah buat janji. Kita pasti ketemu lagi.” Aku memegang tangannya menatap matanya meyakinkannya. Tubuhnya merapat dan aku memeluknya. “Aku pergi ya.” Aku mengangkat jariku dan mendekatkan ke wajahnya. Memberi tanda untuk tidak lagi mengucapkan kata-kata. Aku memberi satu kecupan di keningnya dan melangkah mundur. Dan dia pergi. Aku masih berdiri terpaku, mobil yang mengantarnya telah berlalu bahkan debunya juga telah tersapu. Aku mencoba mengingat dan menyatukan setiap detik dan menit di sore yang baru saja berlalu. Perlahan aku menyentuh kalung yang dari siang ini menggantung di leherku menggosoknya dengan jariku dan kemudian melepaskannya dari leherku. Aku membuka kedua ujungnya dan mengeluarkan cincin yang terikat di kalung itu. Aku memandang cincin itu membaca tiga huruf yang terukir di bahagian dalamnya… Chi. Aku tersenyum dan memasangkan cincin itu kembali ke jari. Satu janji yang pasti dan akan aku tepati… … … Nah, itulah tadi Cerpen Romantis, kunjungi terus halaman artikel ini setiap harinya, karena akan saya update sewaktu-waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar