CERPEN CINTA - Berikut ini adalah
salah satu koleksi dari cerpen terbaru yang saya buat, alur cerita cerpen ini
berkisahkan tentang perjalanan cinta dua orang remaja. Untuk lebih jelasnya
silahkan dibaca dengan baik karena cerpen cinta ini sangat bermanfaat bagi anda
yang sangat senang akan cerita-cerita cinta, selain ini saya juga telah membuat
cerpen lucu yang tidak kalah menariknya. Selengkapnya... berikut ini!! Bagi
banyak orang, mungkin motorku sudah layak untuk segera dimusiumkan. Namun aku
berpendapat lain. Terlalu banyak kenangan yang aku punyai dengan motor ini.
Berderet-deret peristiwa dan kejadian yang telah kulalui dengan motor butut
ini. Motor ini pernah sangat berjasa mengantarku ke sekolah tiap hari di tiap
pagi sewaktu masih SMA dulu, mulai dari kelas satu hingga akhirnya aku lulus.
Motor yang setia mendengar keluh kesahku dikala aku sedang gelisah, menemaniku
menghabiskan malam sambil duduk merenung di sudut remang kota. Motor yang
mengajarkan padaku, bahwa ternyata hidup prihatin itu bisa pula dinikmati.
Namun dibalik semua kisah itu, motor inilah yang mengajarkan padaku, bahwa
memang masih ada perempuan yang tak menilai laki-laki hanya dari materi semata.
Mengajarkan bahwa kesetiaan dan menerima apa adanya ternyata masih bisa ditemui
di tengah dunia yang makin materialis dan penuh perhitungan untung-rugi. Aku
mengenal Marieta ketika aku memasuki kuliah semester dua. Kami memang satu
angkatan. Namun aku termasuk laki-laki yang sulit untuk bisa bergaul cair
dengan teman lawan jenis. Sehingga tak mengherankan, aku baru bisa banyak kenal
dengan teman perempuan ketika sudah menginjak semester dua, Marieta adalah satu
diantaranya. Sebenarnya semuanya bermula biasa saja. Aku mulai dekat dengan
Marieta ketika aku sering meminjam catatan kuliahnya. Maklum saja, aku termasuk
mahasiswa yang rajin sekaligus pemalas. Rajin membolos dan kalau toh pun masuk
kuliah, aku sangat malas mencatat. Mengapa aku suka meminjam catatan Marieta
pun sebenarnya sederhana saja. Dia termasuk mahasiswa yang sangat jarang membolos,
catatannya sangat lengkap dan tulisannya mudah dibaca. Untungnya pada semester
dua itu, semua mata kuliah yang aku ambil, Marieta juga mengambilnya. Walaupun
ada sedikit perbedaan antara mata kuliah yang dia ambil dengan yang aku ambil.
Tentunya mata kuliah yang dia ambil lebih banyak daripada yang aku ambil.
Sebuah hal lumrah bagi seorang mahasiswa seperti aku. Akhirnya tanpa sadar,
seringkali pula aku mengembalikan catatan sampai harus pergi ke kosnya.
Memberikan catatan, dilanjutkan dengan ngobrol sebentar, lalu pulang. Satu dua
kali tak mengapa, tak terasa ada perbedaan. Semuanya biasa saja. Namun lama
kelamaan, kebiasaan ngobrol setelah mengembalikan catatan seringkali
dilanjutkan dengan makan bersama. Terkadang makan di warung sebelah kosnya, namun
lebih sering makan masakannya sendiri. Bagi lidahku masakannya termasuk enak,
tak kalah dengan masakan warung sebelah kosnya. Mungkin benar kata orang Jawa,
witing tresna jalaran saka kulina. Datangnya cinta karena pertemuan yang sering
dan berlangsung lama. Sejak sering ngobrol, makan bersama, kami pun
lama-kelamaan suka saling curhat. Dari saling curhat itulah aku mulai merasa
bergantung kepadanya, merasa membutuhkannya, merasa nyaman didekatnya dan ingin
selalu ada di dekatnya. Ada satu hal yang berubah semenjak aku dekat dengan
Marieta, aku jadi jarang bolos kuliah lagi. Sesuatu yang tidak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Bisa jadi akibat dari aku, dengan terpaksa namun bahagia,
sering mengantar dan menjemputnya ketika pergi kuliah. Pada pertengahan semester
tiga pun kami mulai jadian. Pertama jadian, sebenarnya aku merasa kurang
percaya diri. Maklum saja, seminggu setelah jadian aku baru mengetahui kalau
dia ternyata anak seorang pengusaha sukses. Jauh berbeda dengan aku yang anak
pegawai biasa, yang bisa kuliah dengan nyambi jaga warnet kepunyaan pakdhe.
Lumayanlah, untuk bisa membayar SPP tiap semester dan sekedar jajan. Aku kira
dia anak orang biasa seperti aku. Kos-kosannya biasa saja, tidak terlalu banyak
fasilitas yang tersedia. Membuat tugas kuliah juga di rental komputer.
Seringkali pula dia lebih suka memasak sendiri daripada membeli makanan di
warung. Dia juga suka memcuci bajunya sendiri daripada menyerahkannya ke
laundry atau tukang cuci. Bukan karena tidak punya uang, tetapi katanya biar dia
bisa belajar mandiri. Aku baru mengetahui semuanya ketika salah seorang teman
kosnya bercerita padaku. Meskipun teman kosnya pernah berjanji pada Marieta
tidak akan pernah bercerita tentang latar belakang keluarganya pada siapapun.
Hingga akhirnya setelah sebulan kita jadian, aku memberanikan diri bertanya
padanya. Apakah dia tidak merasa malu, punya pacar anak orang biasa-biasa saja,
hanya punya sebuah motor lawas, tidak ber-HP, di kampus nggak pintar-pintar
amat dan punya wajah yang berada di bawah standar pasar. Sedangkan dia anak
orang kaya, cakep, rajin, pintar lagi. Belum lagi masih banyak teman-teman
kampus lain yang lebih kaya dan cakep dariku yang juga menaruh hati padanya.
Mengapa dia lebih memilih aku daripada mereka. Namun apa jawaban yang aku dapat.
Sambil memegang kedua tanganku dia berujar, “Ternyata kamu sudah tahu ya kalau
ternyata aku anak orang… Hmm, namun bagiku ketulusanmu, kejujuranmu, kemauanmu
untuk terus maju dan berubah serta perhatianmu sudah merupakan lebih dari cukup
bagiku.” Sebuah jawaban yang sanggup menenangkan hatiku. Satu hal yang paling
aku sukai dari Marieta, dia sangat menghargai rasa sayangku terhadap motor
bututku. Dia menyadari bahwa sudah terlalu banyak kenangan yang pernah aku
lalui dengan motorku itu. Dia pun tak pernah keberatan aku antarkan kemanapun
dengan motor itu. Pernah dia berujar, “Tahukah kenapa aku sangat suka naik
motormu ini, Mas?” Sebelum aku sempat menjawab dia menimpali, “Dengan naik
motor ini, waktu kita berduaan semakin lama. Karena motor ini nggak bisa
ngebut. Satu lagi yang aku sukai dari motormu, pastinya nggak ada cewek selain
aku yang mau kamu bonceng dengan motormu ini.” Sebuah jawaban yang sempat
membuat aku sewot dengannya seharian. Namun sebelum sewot hari itu berubah
menjadi kejengkelan, sambil menyuguhi aku segelas kopi panas dia berujar, “Tadi
cuman guyonan kok, Mas. Jangan marah ya. Sebetulnya, dengan motor itu, aku
menemukan sebuah sosok yang sederhana dan mau terbuka dengan orang lain tentang
keadaanmu yang sebenarnya. Itulah yang membuatku tertarik padamu. Kamu
mempunyai kepribadian yang kuat.” Motor butut dan Marieta mengajarkanku banyak
hal. Tentang makna-makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol. Yang mungkin
jarang kita tangkap, kita mengerti dan kita pahami. Semua orang di kampus sudah
mengetahui tentang hubungan kita. Walaupun terkadang mereka juga tidak percaya
sepenuhnya. Mungkin karena ketika di kampus, kita sangat jarang terlihat
berduaan. Memang sewaktu berangkat dan pulang kita berboncengan dengan motor
bututku. Namun setelah itu, entah aku ke utara dan dia ke selatan, itu adalah
hak masing-masing. Baru nanti pada jam yang telah disepakati sebelumnya kita
bertemu di bawah pohon beringin di parkiran. Namun itu pun juga berangsung
hanya sampai pertengahan semester lima. Pada semester lima kami sering berbeda
jadwal, apalagi sekarang pakdhe membuka warnet baru dan aku diminta untuk
mengelolanya. Sedangkan Marieta makin hari juga makin larut dengan aktifitasnya
di lembaga pers mahasiswa di fakultas. Semua itu memunculkan konsekuensi, kami
mulai jarang bertemu. Yang biasanya kami tiap hari bertemu, sekarang berangsur
berkurang menjadi tiga hari sekali. Untungnya kami bisa saling belajar untuk
saling memahami kondisi masing-masing. Pernah pula pada suatu waktu, kami tak
bertemu selama seminggu dan ketika aku telpon dia di kos. Dia menjawab dengan
nada sewot, padahal pada saat yang sama aku harus segera ke warnet. Karena ada
beberapa komputer yang bermasalah. Terpaksa, hari itu aku mengajaknya berkencan
di warnet baru pakdhe. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Sejalan dengan waktu
tak terasa hubungan kami sudah berlangsung selama tiga tahun. Bagiku hubungan
antara aku dan Marieta cukup menarik. Latar belakang yang berbeda membuat kami
harus saling berkerja keras untuk bisa saling memahami. Tak jarang pula salah
paham terjadi. Mulai dari hal-hal yang kecil dan remeh sampai hal-hal yang
prinsipil. Walaupun akhirnya bisa diatasi dengan berdiskusi dan saling
instropeksi. Untaian waktupun akhirnya memaksa kita untuk harus segera menyelesaikan
kuliah. Untunglah segalanya berjalan lancar, walaupun seringkali aku tak bisa
mengantarkannya ketika harus berburu buku atau data-data skripsi. Ternyata ada
hikmah dari kondisi kami yang jarang saling bertemu. Kami mulai mengurangi
ketergantungan satu sama lain. Walaupun kami menyelesaikan skripsi tidak
bersamaan, namun kami memutuskan untuk wisuda bersama. Pada waktu itu akulah
yang bisa menyelesaikan skripsi terlebih dahulu. Baru enam bulan kemudian,
Marieta menyelesaikan skripsinya. Kami berharap dengan momen wisuda besok, kami
bisa mempertemukan kedua keluarga kami. Kami berdua ingin bahwa hubungan yang
telah lama terjalin ini terus berlanjut ke tahapan yang lebih serius. Seiring
berjalannya sang waktu, akupun sekarang ada di sini. Di sebuah rumah sederhana
di pinggiran kota Yogyakarta. Sedang menikmati indahnya minggu pagi sambil
mengelus-elus motor lawas kesayanganku yang sudah tak butut lagi. Sedangkan
Marieta dan anak kami yang sudah menginjak usia tiga tahun sedang bermain di
halaman belakang. Memang, kami akhirnya menikah dan berkeluarga. Aku sekarang
bekerja dengan membuka toko komputer di bilangan pusat kota, sedangkan Marieta
membuka tempat penitipan anak dan play group di rumah sebelah. Itulah tadi
cerita cinta antara dua orang remaja, yang menurut saya cukup menarik. Termika
kasih atas anda yang telah meluangkan waktunya membaca cerita cinta ini.